Ruteng, NTT // divisinews.com —Harapan besar para petani hortikultura di Kabupaten Manggarai terhadap Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) berujung pada kekecewaan mendalam. Program yang diklaim sebagai ikon nasional pemberantasan gizi buruk itu dinilai belum memberikan dampak nyata bagi pemberdayaan petani di daerah.
Di tengah hamparan hijau lahan sayur di Kelurahan Satar Tacik, Ruteng, Lambertus Enga — pensiunan TNI sekaligus Ketua Kelompok Tani hortikultura Wira Sakti Ruteng, tak bisa menyembunyikan rasa kecewanya. Suaranya bergetar ketika menuturkan perjuangan para petani yang tak kunjung mendapat ruang dalam skema besar MBG.
“Semestinya Program MBG bisa jadi peluang emas bagi kami. Tapi sampai sekarang, tidak ada bentuk pemberdayaan atau kerja sama langsung,” ujarnya lirih, Senin (10/11/2025).
Lambertus memimpin kelompok yang menaungi beberapa kelompok usaha hortikultura di Manggarai, termasuk Kelompok Wanita Tani Kartika dan sejumlah kelompok binaan di tingkat kecamatan. Di atas lahan sekitar enam hektar yang tersebar di lima lokasi berbeda, mereka menanam beragam komoditas hortikultura, mulai dari buncis, brokoli, lombok, vanbock, kacang panjang, pakcoy, mentimun, wortel, sawi, tomat hingga daun bawang.

Namun, keberhasilan produksi tak berbanding lurus dengan kesejahteraan. Masalah klasik pemasaran membuat hasil panen sering kali dijual murah. Sejak 2016, produk mereka hanya disalurkan ke pasar lokal dan beberapa hotel di Labuan Bajo, Manggarai Barat dengan jarak tempuh empat jam dan biaya transportasi yang menggerus keuntungan.
“Hasil panen kami bagus, tapi harga di tingkat petani hancur. Kadang untungnya hanya cukup menutup biaya. Kami kerja keras, tapi hasilnya tidak sepadan,” kata Lambertus.
Ia mengaku kecewa karena kehadiran MBG, yang seharusnya bisa menjadi mitra penyerapan hasil hortikultura lokal, justru tidak melibatkan kelompok tani.
“Pekerja MBG memang pernah datang membeli, tapi harganya jauh di bawah biaya produksi. Itu bukan kerja sama,” tegasnya.
Nada serupa datang dari Yosefina Mali, Ketua Kelompok Wanita Tani Kartika yang beranggotakan 27 orang. Ia berharap pemerintah daerah bersama pelaksana MBG, yakni SPPG, bisa membuka ruang kemitraan langsung dengan petani lokal.
“Kami punya hasil panen, mereka butuh bahan makanan bergizi. Harusnya bisa saling bantu,” tegas Yosefina.
Lambertus hanya ingin hubungan kerja sama yang jelas dan adil, tanpa perantara, agar hasil jerih payah mereka punya nilai ekonomi yang layak.

“Buat perjanjian kerja sama yang resmi. Kami fokus produksi, SPPG urus pemasaran. Itu saja, kami cuma mau hasil kerja kami dihargai, toh sama sama melaksanakan program pemerintah,” ujarnya menutup percakapan.
Suara kekecewaan itu menggema dari lahan-lahan hijau di Ruteng. Suara dari mereka yang bekerja sejak fajar, menanam harapan di tanah yang subur, namun belum juga menuai perhatian dari program besar yang sejatinya dibuat untuk mereka.
Penulis : J.Robert













