divisinews.com // PASURUAN – Sorotan tajam terhadap penegakan hukum di Kabupaten Pasuruan kembali mencuat. Sejumlah penggiat anti-korupsi yang tergabung dalam Forum Transparansi (Fortrans) melakukan audiensi dengan Polres Pasuruan yang berlangsung di ruang Rupatama, pada Rabu (25/6/2025), menuntut keseriusan aparat dalam menindak kasus tambang ilegal, korupsi dana desa, serta penyimpangan lainnya.
Koordinator Fortrans Pasuruan Timur, Ismail Makky, menyoroti keberadaan 57 perusahaan tambang yang diduga beroperasi di kawasan resapan air, wilayah yang semestinya dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No. 11 Tahun 2024. Ia menegaskan, bahwa seluruh aktivitas tambang di kawasan tersebut wajib dihentikan per 1 Januari 2025.
“Meski potensi PAD yang dihasilkan mencapai Rp30 miliar per tahun, aturan tetap harus ditegakkan. Penambangan di kawasan resapan air bukan lagi isu, tapi sudah menjadi fakta yang berdampak nyata terhadap kerusakan lingkungan dan potensi bencana banjir,” tegas Ismail.
Tak hanya sektor tambang, Fortrans juga mengungkap bobroknya pengelolaan anggaran desa. Penyimpangan Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) disebut marak dilakukan oknum aparat desa. Bahkan, iuran jaminan sosial bagi kepala desa dan perangkatnya ke BPJS Ketenagakerjaan senilai hampir Rp20 miliar belum disetorkan, meski Pemkab Pasuruan telah mentransfer dana ke 341 rekening desa sejak 2022 hingga 2025 sebesar Rp35 miliar.
“Ini menunjukkan lemahnya sistem pengawasan. Selain itu, proses hukum terhadap pelaku korupsi juga terhambat karena lambannya audit kerugian negara oleh APIP/Inspektorat. Akibatnya, tidak ada efek jera dan pelanggaran terus berulang,” lanjut Ismail.
Senada dengan Koordinator Fortrans Pasuruan Timur, aktivis Pasuruan Barat, Lujeng Sudarto, juga menyoroti lemahnya penanganan tambang ilegal. Ia menyebut, dalam lima tahun terakhir, hanya satu kasus yang berhasil dibawa hingga ke pengadilan, yakni kasus tambang di Tanah Kas Desa (TKD) Bulusari, Kecamatan Gempol.
“Padahal berdasarkan data kami, ada 81 tambang ilegal di wilayah Pasuruan yang belum tersentuh hukum. Kami berharap, Kapolres yang baru mampu membongkar jaringan ini hingga tuntas,” ujar Lujeng.
Lujeng juga mendesak, agar penyidikan terhadap temuan kerugian negara dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK tidak berhenti hanya pada pengembalian uang negara.
“Pengembalian tidak serta merta menghapus perbuatan pidana. Bahkan, auditor atau pemeriksa yang lalai atau menyembunyikan temuan bisa dijerat secara hukum,” ungkapnya.
Ia juga menyinggung dugaan korupsi di bawah pengelolaan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Pasuruan, khususnya terkait pengelolaan Plaza Bangil. Disebutkan adanya kerugian negara mencapai Rp22 miliar, akibat tunggakan pembayaran dari para penyewa yang dibiarkan bertahun-tahun.
Kapolres Pasuruan, AKBP Dani Jajuli, merespons secara terbuka seluruh masukan tersebut. Ia menegaskan, bahwa pihaknya tidak memiliki Memorandum of Understanding (MoU) khusus dengan Pemkab Pasuruan, kecuali jika diminta sebagai pendampingan teknis.
“Kewenangan tata ruang memang berada di ranah pemerintah daerah. Namun, jika ditemukan unsur pidana, kami akan melakukan penyelidikan hingga penyidikan, dan selanjutnya dilimpahkan ke kejaksaan. Bila sudah masuk tahap penyidikan, kami tidak bisa mundur,” ujar AKBP Dani.
Terkait penanganan kasus korupsi, AKBP Dani menegaskan bahwa Polres Pasuruan tetap bekerja sesuai prosedur hukum yang berlaku, terutama dalam proses penghitungan kerugian negara.
“Penegakan hukum harus berdiri di atas kepastian dan profesionalitas. Kami terbuka terhadap kritik dan saran, dan berharap NGO serta rekan-rekan aktivis ikut berperan aktif dalam mengawal proses hukum sesuai tugas masing-masing,” pungkas Kapolres.
(ALI)